BAB 1 "Catatan akhir Kuliah Sherifa"

Bagian 1


Arah

Rif'atul Mahmudah. Itulah nama yang orangtuaku berikan, maknanya Jalan Kebaikan.

4 tahun lalu, tepatnya 13 April 2015 Ibuku meninggal dunia. Dihari itu pula Aku mengikuti Ujian Nasional SMA. Aku tak bisa berbohong, rasanya sulit menahan air mata ketika Ujian. Disisi lain aku cemas tidak bisa menyaksikan upacara pemakaman ibuku.

Apakah kalian tahu ? 
Semua orang mengatakan " Sabar, Doakan saja", "Udah jangan nangis terus", "Semua sudah takdir". 
Tidak ada yang menanyakan " Apakah aku baik-baik saja ?'

Aku sangat sensitif pada masa itu. Sungguh aku tidak sedang baik-baik saja.
Aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya, tidak tahu arah. Benar-benar Kehilangan arah.
Semua diskusi seputar kuliah, masa depan bersama ibuku seakan sia-sia. Melebur begitu saja dengan keadaan.

9x Aku mencoba mendaftar Perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, tetap saja nihil. Aku benar-benar jatuh. Ibuku segalanya bagiku, sumber energiku. Dulu, aku tidak pernah sedikitpun takut dengan apapun (teman jahil, geng sekolah, guru, preman, setan). Tapi ternyata Kehilangan ibuku benar benar menyisakan luka mendalam.
Aku yang selalu dibangga-banggakan Ibuku karena peringkatku selalu  masuk 3 besar dikelas, aktif di sekolah, dan sering mengikuti kompetisi merasa dunia benar-benar berbalik arah. Suatu hari, Aku tidak sengaja mencoba mendaftar di Universitas Siliwangi (UNSIL) setelah sebelumnya menetapkan kampus cadangan: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Seburuk apapun nasibku pada akhirnya nanti, Pendidikan Bahasa Inggris UMY pilihan baik dan nyaman bagiku. Pada waktu itu aku cenderung menaruh diriku pada pendidikan bahasa inggris UMY. Yang kutahu: aku nyaman dengan pilihan ini. Tapi ternyata Kenyataan berkata lain.

Satu-satunya orang yang sangat bersikeras agar aku kuliah di Universitas Siliwangi adalah kakaku. Aku bahkan sama sekali tidak serius mengerjakan ujian tes masuk (CBT). Aku bahkan sudah telat setengah jam saat tes mulai. Aku benar-benar tidak yakin dengan kelulusanku. 

Ketidakmauanku  untuk kuliah di UNSIL membuatku harus bertengkar hebat dengan kakaku sendiri. Perang dimulai. Debat, tangis, sesekali sesenggukan sudah jadi kebiasaan perang kami. Kakaku sangat koleris akut. Dia benar-benar keras terhadapku. Aku yang plegmatis pun kadang tak sanggup mengimbanginya.

Atas berbagai pertimbangan matang, akhirnya UNSIL-lah pelabuhan terakhir pencarian kampusku. Dengan beberapa analisisku :
1. Tasikmalaya memiliki jarak lebih dekat dibandingkan Yogyakarta
2. Kebutuhan pekerja keuangan sangat tinggi dibandingkan pendidikan bahasa inggris
3. Aku tidak buta bahasa inggris level dewa, sehingga aku masih bisa mencari opsi lain belajar bahasa inggris.

 Dalam Perjalan kesana-kemari, Purwokerto, Yogyakarta, Solo,Semarang, Tasikmalaya aku selalu berpikir "Ini Cuma mimpi". Nanti kalau sudah bangun, semua akan kembali seperti semula. Ibuku akan selalu ada menemaniku.

"Tapi, kenyataan nggak seindah gitu  tul", suara hati kecilku.




bersambung.


Komentar